IDENTITAS DIRI
Disusun Sebagai Tugas di Mata Kuliah Psikologi Sosial
Dosen : Faizah Sirojuddin, S.Psi.
Oleh :
M. Abdul Jabar
Abdullah Bawazier
Rafsyanjani Mohammad
Agustian Raka Perdana
Maulana Luqman Firdaus
FAKULTAS HUMANIORA
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah
makhluk hidup yang selalu memiliki perilaku dalam hidupnya. Perilaku-perilaku
yang dilakukan oleh masing-masing individu berbeda dengan individu lainnya tergantung
kepada beberapa aspek yang mempengaruhi pembentukan perilaku tersebut. Dengan
adanya kebutuhan untuk mengetahui lebih dalam tentang perilaku manusia
tersebut, psikologi hadir sebagai perantara bagi manusia untuk mempelajari
perilaku-perilaku manusia tersebut.
Psikologi sebagai disiplin ilmu juga memiliki beberapa cabang ilmu lagi, salah
satunya adalah psikologi sosial. Psikologi sosial termasuk ke dalam salah satu
cabang dari psikologi khusus. Psikologi sosial lebih menitikberatkan
pembahasannya kepada perilaku-perilaku individu dan kaitannya dengan stimulus
sosial. Psikologi sosial mempelajari bagaimana perilaku individu di dalam suatu
kelompok sosial, baik dipengaruhi maupun mempengaruhi kelompok sosial individu
tersebut. Jadi, dapat dikatakan pula bahwasanya psikologi sosial membahas
tentang perilaku individu dalam konteks situasi sosial individu tersebut.
Salah satu pokok
bahasan di psikologi sosial adalah tentang diri (self). Pembahasan diri
menjadi sangat penting karena pemahaman individu tentang diri sangat
berpengaruh dengan setiap perilaku yang dilakukan individu tersebut.
Pengetahuan individu tentang dirinya bervariasi pada kontinum identitas
personal dan sosial (personal and social identity) individu tersebut.
Dengan lain kata, pengetahuan seseorang tentang dirinya memiliki hubungan yang
erat dengan bagaimana individu tersebut mendefinisikan dirinya dalam bentuk
suatu identitas diri. Oleh sebab itu, pembahasan tentang identitas diri menjadi
sangat urgent dalam studi psikologi sosial terutama bagi kalangan
akademisi yang bergelut dibidang human dan sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Identitas Diri
Identitas
dilihat dari segi bahasa berasal dari Bahasa Inggris yaitu “identity” yang dapat diartikan
ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri. Ciri-ciri adalah suatu yang menandai
benda atau orang. Sedangkan identitas diri dalam bahasa inggris adalah self-identity yang berarti kesadaran
akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan
sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh (Stuart
dan Sundeen, 1991).
Sedangkan Erikson (1968) menjelaskan
identitas sebagai perasaan subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang
dari waktu ke waktu. Dalam berbagai tempat dan berbagai situasi sosial,
seseorang masih memiliki perasaan menjadi orang yang sama. Sehingga, orang lain
yang menyadari kontinuitas karakter individu tersebut dapat merespon dengan
tepat. Sehingga, identitas bagi individu dan orang lain mampu memastikan
perasaan subjektif tersebut (Kroger, 1997).
Waterman (1984) juga memberikan
definisi yang lain, identitas berarti memiliki gambaran diri yang jelas
meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang
dipilih oleh individu tersebut. Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang waktu
dan telah dibuat karena tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai
dinilai penting untuk memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup (LeFrancois,
1993).
Selain itu ada juga Marcia (1993) yang
mengatakan bahwa identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan
identitas personal individu. Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang
berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang
lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani
kehidupan. Sebaliknya, jika kurang berkembang maka individu semakin atergantung pada
sumber-sumber eksternal untuk evaluasi diri.
Ciri-ciri
dalam identitas diri bisa berupa ciri fisik dan non-fisik. Ciri fisik dapat
diamati dari ciri biologis seseorang tersebut seperti orang cina bermata sipit
dan orang irian berkulit hitam. Sedangkan ciri non-fisik tidak dapat dilihat
hanya melalui ciri biologis, tapi dapat diamati ketika seseorang tersebut mulai
berinteraksi seperti gaya bicara ataupun tingkah laku.
Untuk memudahkan dalam mengetahui
identitas diri ada sesuatu yang dikenal dengan atribut identitas. Atribut
identitas adalah segala sesuatu yang disengaja maupun tidak sengaja berguna
untuk mengenali jati diri atau identitas seseorang. Atribut ini bisa berupa
ciri-ciri yang mencolok dari benda atau tubuh seseorang, sifat-sifat seseorang
atau pola tindakan dan bahasa yang digunakan.
B.
Konseptualisasi Identitas Diri dan Bentuk Dasar Identitas Diri
Menurut Brewer and Gardiner (1996),
ada 3 bentuk diri yang menjadi dasar bagi seseorang dalam mendefinisikan
dirinya :
1.
Individual Self
Individual self adalah diri yang didefinisikan berdasaran trait pribadi yang
membedakan dengan orang lain. Individu tersebut berusaha mendefinisikan dirinya
sendiri dengan apa yang ada di dirinya sendiri yang mana hal tersebut
membedakan ia dengan individu lain. Contoh : “Saya adalah pekerja keras yang
pantang menyerah ketika menghadapi tantangan.” Sifat pekerja keras dan pantang menyerah
tersebutlah yang membedakan individu tersebut dengan individu lain yang tidak
memiliki trait tersebut.
2.
Relations Self
Relations Self adalah diri yang didefinisikan berdasarkan hubungan interpersonal
yang dimiliki dengan orang lain. Individu tersebut berusaha mendefinisikan dirinya
dengan hubungan yang ia miliki dengan seseorang terutama tokoh terkenal. Contoh
: “Saya adalah teman dari aktor drama Korea.” Hubungan pertemanan dengan aktor
drama Korea tersebutlah yang membedakan individu tersebut dengan individu lain
yang tidak memiliki hubungan interpersonal dengan artis itu.
3.
Collective Self
Collective Self adalah diri yang didefinisikan berdasarkan keanggotaan dalam suatu
kelompok sosial. Individu tersebut berusaha mendefinisikan dirinya dengan
keikutsertaannya dalam suatu kelompok sosial.Contoh : “Saya adalah mahasiswa
Oxford angkatan 2010.” Keikutsertaannya dalam kelompok mahasiswa Oxford
tersebutlah yang membedakan individu tersebut dengan individu lain yang tidak
ikut serta dalam kelompok sosial tersebut.
Menurut Jackson dan Smith (1999), terdapat 4 macam
dalam konseptualisasi identitas sosial :
1.
Persepsi dalam konteks antar kelompok (hubungan antara in-group
seseorang dengan grup perbandingan yang lain).
2.
Daya tarik in-group (afek yang ditimbulkan oleh in-group seseorang).
3.
Keyakinan yang saling terkait (norma dan nilai yang menghasilkan
tigkah laku anggota kelompok ketika mereka berusaha mencapai tujuan dan berbagi
keyakinan yang sama).
4.
Depersonalisasi (memandang dirinya sendiri sebagai contoh dari
kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik), pada
saat seseorang kehilangan identitas dirinya karena meleburkan dirinya ke dalam
identitas kelompok.
Konseptualisasi identitas diri juga
didapat dari beberapa tahapan atau disebut dengan karekteristik adaptif, yaitu
:
1.
Kesadaran diri subjektif (Subjective self-awareness).
Merupakan
kemampuan membedakan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Tahap ini terjadi
saat kita masih kecil.
Contoh : Ketika
kita mulai bisa membedakan diri kita sebagai seorang anak kecil yang masih
duduk di bangku SD dengan seorang lelaki dewasa yang sudah bekerja, atau dengan
seorang mahasiswa yang pergi ke universitas untuk belajar.
2.
Kesadaran diri objektif (Objective self-awareness).
Merupakan
kemempuan menjadikan diri sendiri sebagai objek perhatian, kesadaran akan
pikirannya (mengetahui dan menginngat). Tahap ini terjadi ketika kita mulai
dewasa.
Contoh : Saat kita
berkata kasar pada orang lain, seringkali kita berpikir “Seharusnya saya tidak
berkata seperti itu, bukankah tadi itu kasar sekali?” dan sebagainya.
3.
Kesadaran diri simbolik (Symbolic self-awareness).
Merupakan
kemampuan membentuk representasi kognitif diri yang absrak melalui bahasa yang
memungkinkan manusia berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungannya.
Contoh : Konsep
diri Bagaskoro : “Saya adalah artis ganteng Indonesia” , maka konsep diri
seorang artis yang dimiliki Bagaskoro itu akan membantunya bersikap sebagai
seorang artis dalam pekerjaannya (menjaga image, selalu stylish, memperhatikan
perkataannya di depan kamera, menjauhi dirinya dari gosip, dll).
C.
Pembentukan Identitas Diri dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Identitas diri
tidak ada secara langsung dalam diri seseorang. Identitas diri seseorang
mengalami fase pembentukan terlebih dahulu yang terangkum dalam suatu proses di
dalamnya. Proses yang membentuk identitas diri seseorang juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik eksternal maupun internal dari individu tersebut. Marcia
(1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan :
“Identity
formation involves a synthesis of childhood skills, beliefs, and identification
into a more a less coherent, unique whole
that povides the young adult with both a sense of continuity with the past and a
direction for the future”
Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwasanya pembentukan
identitas diri adalah suatu proses yang berupa pengkombinasian dari pengalaman,
kepercayaan dan identifikasi sejak masa kanak-kanak yang pada masa dewasa
memberikan perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa depan.
Pembentukan identitas diri sangat bergantung dengan apa yang didapatkan dan
dihadapi pada masa kanak-kanak seseorang.
Selain berupa
proses yang telah terbentuk sejak masa kanak-kanak, pembentukan identitas diri
seseorang juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Fuhmann (1990)
mengatakan bahwasanya ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan
identitas diri, antara lain :
a.
Pola Asuh
Pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua terhadap anak memiliki pengaruh yang sangat penting
dalam kehidupan individual anak tersebut. Pola asuh orag tua dapat membentuk
identitas diri anak tersebut ketika dewasa.
Identitas diri
anak yang diasuh dengan baik dan dengan kurang baik akan berbeda ketika telah
meranjak dewasa.
b.
lingkungan
Faktor homogenitas
lingkungan juga turut mempengaruhi pembentukan identitas diri seseorang.
Seseorang yang tinggal di lingkungan homogen akan tidak banyak menerima krisis
dan mudah menerima nilai-nilai dari orang tua. Sebaliknya, orang yang tinggal
di lingkungan heterogen akan banyak mengalami krisis dan perbedaan nilai yang
dimiliki. Orang yang tinggal di desa yang cenderung homogen akan memiliki
identitas diri yang berbeda apabila dibandingkan dengan orang yang tinggal di
kota yang cenderung heterogen.
c.
Model untuk identifikasi
Individu terutama
anak dan remaja cenderung mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang
dikagumi dengan tujuan kelak akan menjadi seperti orang yang dikagumi. Dengan
idola yang masing-masing berbeda membuat identitas diri seseorang dengan yang
lainnya terutama anak dan remajapun berbeda pula. Individu yang mengidolai
tokoh A akan memiliki identitas diri yang berbeda dengan individu yang
mengidolai tokoh B.
d.
Pengalaman masa kanak-kanak
Segala kejadian,
konflik, masalah dan berbagai jenis pengalaman yang dialami oleh individu
ketika kanak-kanak akan mempengaruhi pembentukan identitas diri individu
tersebut ketika dewasa. Individu yang ketika masa kanak-kanaknya sering dibully
akan memiliki identitas diri yang berbeda dengan anak yang tidak dibully.
e.
Identitas etnik
Etnis yang
dimiliki dan lingkungan etnis yang ditinggali memiliki pengaruh bagi individu.
Etnis dan lingkungan juga turut mempengaruhi pembentukan individu diri
seseorang.
Orang yang memiliki etnis Jawa dan tinggal dalam
lingkungan Jawa akan memiliki identitas diri yang berbeda dengan orang yang
beretniskan Sunda dan tinggal dalam kehidupan Sunda.
f.
Perkembangan kognisi
Setiap individu
memiliki kemampuan berpikir terhadap sesuatu yang berbeda-beda. Dapat dikatakan
pula kemampuan kognisi tiap orangpu berbeda-beda pula. Kemampuan kognisi
seseorang ternyata juga mempengaruhi pembentukan identitas diri orang tersebut.
Orang yang memiliki kognisi yang berkembang akan memiliki identitas diri yang
berbeda dengan orang yang memiliki kognisi yang kurang berkembang.
g.
Sifat Individu
Setiap individu
memiliki sifat-sifat yang hanya dimiliki sendiri dan karena itu pula sifat
tiap-tiap orang pun berbeda pula. Sifat yang dimiliki individu tutut
mempengaruhi pembentukan identitas diri seseorang. Orang yang memiliki sifat
pemarah akan memiliki identitas diri yang berbeda dengan orang yang tidak
pemarah.
D.
Status
Identitas Diri
Identitas diri yang pada umumnya
memiliki konsep bahwa umumnya menunjuk kepada suatu kesadaran akan kesatuan dan
kesinambungan pribadi. Berdasarkan ide yang diungkapkan oleh Erikson, Marcia
mengungkapkan bahwa konsep identitas diri yang dihasilkan dari status identitas
diri itu digunakan untuk menerangkan atau mendeskripsikan posisi seseorang
dalam masa perkembangan identitasnya. Pada sudut pandang Marcia bahwasannya
status identitas ini menghasilkan dua dimensi yang terpenting dari pada yang
lain yakni : krisis atau eksplorasi dan komitmen. Dalam pencapaian untuk
mendapatkan status identitas diri, seorang remaja akan mengalami tahap
pencarian status identitas diri. Adapun pandangan ilmuwan mengenai hal ini,
diantaranya pandangan Erikson dan Marcia.
Pertama,
tahap-tahap pencarian status identitas diri Erikson. Pada tahap sosial Erikson
ia mencetuskan istilah yang disebut krisis identitas. Istilah ini terdapat pada
delapan tahapan perkembangan yang berurutan. Pada pencapaian status identitas
diri, biasanya terjadi pada tahap kelima, yaitu pada tahap identity vs identity
confusion Tahap ini terjadi saat individu berusia 10 sampai 20 tahun dan
individu mulai mencari status identitas dirinya. Menurut Erikson “remaja harus
memutuskan siapakah mereka itu, apa keunikannya, dan apa yang menjadi tujuan
hidupnya”. Ketika seseorang mendekati masa remaja dan pubertas, ada pilihan-pilihan
dalam hidupnya seperti memilih pekerjaan ataupun dalam hal memilih menyukai
lawan jenis.
Adapun
pandangan dari Marcia akan status identitas diri itu dipengaruhi oleh teori
Erikson Marcia menggunakan krisis dan komitmen untuk mengklasifikasikan seseorang
menjadi empat tahap status identitas, yaitu (a) identity diffusion
(rendah
dalam komitmen dan eksplorasi), (b) identity
foreclosure (tinggi komitmen dan
rendah eksplorasi), (c) identity
moratorium (rendah
komitmen dan tinggi eksplorasi), dan (d) identity
achievement (tinggi
dalam komitmen dan eksplorasi).
1. Identity Diffusion
Orang tipe ini, yaitu orang yang
mengalami kebingungan dalam mencapai identitas. Ia tidak memiliki krisis dan
juga tidak memiliki tekad untuk menyelesaikannya.
Ciri seseorang yang memiliki identitas
ini adalah : tidak mempunyai pilihan-pilihan yang dipertimbangkan secara
serius, tidak mempunyai komitmen, tidak yakin pada dirinya sendiri, cenderung
menyendiri, orang tua tidak mendiskusikan mengenai masa depan dengannya, mereka
sering bicara semua terserah mereka, beberapa dari mereka tidak mempunyai
tujuan hidup, cenderung tidak bahagia, sering menyendiri karena kurangnya
pergaulan. (Marcia, tanpa tahun)
2.
Identity
Foreclosure
Identitas
ini ditandai dengan tidak adanya suatu krisis, tetapi ia memiliki komitmen atau
tekad. Sehingga individu seringkali berangan-angan tentang apa yang ingin
dicapai dalam hidupnya, tetapi seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang
dihadapinya. Akibatnya, ketika individu dihadapkan pada masalah realitas, tidak
mampu menghadapi dengan baik. Bahkan kadang-kadang melakukan mekanisme
pertahanan diri seperti ; rasionalisasi, regresi pembentukan reaksi dan
sebagainya.
Ciri seseorang yang memiliki identitas
ini : komitmennya dibuat setelah menerima saran dari orang lain, keputusan
dibuat tidak sebagai hasil dari krisis, yang akan melibatkan pertanyaan dan
eksplorasi pilihan-pilihan yang mungkin, berpikiran kaku, bahagia, yakin pada
diri sendiri, bahkan mungkin puas dengan diri sendiri, menjadi dogmatis ketika
opininya dipertanyakan, hubungan keluarga dekat, patuh, cenderung mengikuti
pemimpin yang kuat, tidak mudah menerima perselisihan pendapat. (Marcia, tanpa
tahun)
3.
Identity
Moratorium
Identitas
ini ditandai dengan adanya krisis, tetapi ia tidak memiliki kemauan kuat
(tekad) untuk menyelesaikan masalah krisis tersebut. Ada dua kemungkinan tipe
individu ini, yaitu : a. Individu yang menyadari adanya suatu krisis yang harus
diselesaikan, tetapi ia tidak mau menyelesaikannya, menunjukkan bahwa individu
ini cenderung dikuasai oleh prinsip kesenangan dan egoisme pribadi. Apa yang
dilakukan seringkali menyimpang dan tidak pernah sesuai dengan masalahnya.
Akibatnya, ia mengalami stagnasi perkembangan, artinya seharusnya ia telah
mencapai tahap perkembangan yang lebih maju, namun karena ia terus-menerus
tidak mau menghadapi atau menyelesaikan masalahnya, maka ia hanya dalam tahap
itu. b. Orang yang memang
tidak menyadari tugasnya, namun juga tidak memiliki komitmen. Ada kemungkinan,
faktor sosial, terutama dari orang tua kurang memberikan rangsangan yang
mengarahkan individu untuk menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya.
Ciri seseorang yang memiliki
identitas moratorium adalah : dalam keadaan krisis, ragu-ragu dalam membuat
keputusan, banyak bicara, percaya diri, tetapi juga mudah cemas dan takut, pada
akhirnya mungkin akan keluar dari krisis dengan kemampuannya membuat komitmen.
(Marcia, tanpa tahun)
4.
Identity
Achievement
Seorang individu dikatakan telah memiliki
identitas, jika dirinya telah mengalami krisis dan ia dengan penuh tekad mampu
menghadapinya dengan baik. Justru dengan adanya krisis akan mendorong dirinya
untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikannya dengan baik. Walaupun
kenyataannya ia harus mengalami kegagalan, tetapi bukanlah akhir dari upaya
untuk mewujudkan potensi dirinya.
Ciri orang yang memiliki identitas ini :
mampu membuat pilihan dan komitmen yang kuat, pilihan dibuat sebagai hasil
proses periode krisis dan pencurahan banyak pikiran serta perjuangan emosi,
orang tua mendorongnya untuk membuat keputusannya sendiri, orang tua
mendengarkan ide-idenya dan memberi opini tanpa tekanan, flexible strength,
banyak berpikir, tetapi tidak terlalu mawas diri, mempunyai rasa humor, dapat bertahan
dengan baik dibawah tekanan, mampu menjalin hubungan yang intim, dapat bertahan
meskipun membuka diri pada ide baru, lebih matang dan lebih kompeten dalam
berhubungan daripada mereka dari tiga kategori status identitas lainnya.
(Marcia, tanpa tahun)
Pengambilan
keputusan biasanya terjadi pada tahap identity moratorium di mana seorang
remaja harus menghadapi krisis dan membuat komitmen. Ketika seorang remaja
membuat komitmen ia harus membuat sebuah keputusan. Mann dan rekan-rekannya
(dikutip dalam Rice, 2002) mengemukakan cara pengambilan keputusan yang
efektif. Mereka membuat sembilan daftar elemen dalam pengambilan keputusan yang
disebut dengan “Sembilan Cs dalam Membuat Keputusan” yaitu (a) pilihan, (b)
pemahaman, (c) kreativitas, (d) kompromi, (e) konsekuensi, (f) kebenaran, (g)
kredibilitas, (h) konsistensi, Dan (i) komitmen
Maka,
Marcia mengatakan bahwa krisis sebagai suatu periode perkembangan identitas di
mana individu berusaha melakukan eksplorasi terhadap berbagai alternatif yang
bermakna, dan komitmen diartikan sebagai investasi pribadi mengenai hal-hal
yang hendak individu lakukan.
Modal perkembangan status identitas
itu sekurang-kurangnya ada tiga aspek perkembangan pada remaja muda yang
penting dalam pembentukan identitas (Marcia) remaja muda harus membangun
kepercayaan pada dukungan orang tua, mengembangkan ketekunan (a sense of
industry), dan memperoleh suatu perspektif refleksi diri atas masa depan
mereka.
Maka, Seorang remaja pada masa
perkembangannya pasti melewati tahapan pencarian status identitas diri seperti
yang dikemukakan oleh Marcia. Setelah melewati keempat tahapan status identitas
tersebut, seorang remaja dapat mengetahui cara mengambil keputusan untuk
mencapai komitmen, sehingga seorang remaja dapat dikatakan telah mencapai
status identitasnya. Pencarian status identitas diri tidak hanya terjadi pada
masa remaja saja, melainkan terus terjadi pada saat individu telah dewasa.
BAB III
PENUTUP
Identitas
diri merupakan suatu komponen penting bagi seseorang untuk menunjukkan
identitas personal individu kepada orang lain, semakin ia berkembang dalam
memahami identitas dirinya, maka semakin faham pula ia dalam memahami bagaimana
kekuatan ataupun kekurangan disaat dirinya menjalani kehidupannya. Pengambilan
pandangan terhadap identitas seseorang dapat diambil dari berbagai macam segi,
baik dari segi fisik dan non fisik.
Dapatlah
kita ambil dari sini bahwa kehadiran identitas diri tidak ada secara langsung
dalam diri seseorang. Identitas diri seseorang akan mengalami fase pembentukan
terlebih dahulu yang terangkum dalam suatu proses di dalamnya. Maka
diperlukanlah pembentukan identitas diri yang merupakan suatu proses yang
berupa pengkombinasian dari pengalaman, kepercayaan dan identifikasi sejak masa
kanak-kanak yang pada masa dewasa memberikan perasaan keterkaitan dengan masa
lalu maupun arah bagi masa depan. adapun beberapa faktor yang mempengaruhi
pembentukan identitas diri, antara lain : Pola Asuh, Lingkungan, Model untuk
identifikasi, Pengalaman masa kanak-kanak, Identitas etnik, Perkembangan
kognisi dan sifat individu.
Status
identitas merupakan paradigma perluasan dan pengembangan dari teori psikososial
Erik H. Erikson oleh James Marcia. Maka dari itu status identitas diri agak
berbeda dengan self identity. Bagi
setiap individu diperlukanlah berbagi macam tahap dalam pencapaian status
identitas dirinya. Tetapi menurut James Marcia itu ada 4 ialah: identity
diffusion, identity foreclosure, identity moratorium, dan identity achievement.
Setelah melewati keempat tahapan status identitas tersebut, seorang remaja
dapat mengetahui cara mengambil keputusan untuk mencapai komitmen, sehingga
seorang remaja dapat dikatakan telah mencapai status identitasnya. Pencarian
status identitas diri tidak hanya terjadi pada masa remaja saja, melainkan
terus terjadi pada saat individu telah dewasa.
Referensi
Abdul Rahman, Agus. Psikologi Sosial : Integrasi Pengetahuan
Wahyu dan Pengetahuan Empirik. Cetakan ke-1. Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Sarwono, Sarlito W. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar