Laman

Senin, 03 Agustus 2015

Identitas Diri

IDENTITAS DIRI
Disusun Sebagai Tugas di Mata Kuliah Psikologi Sosial
Dosen : Faizah Sirojuddin, S.Psi.

                                    

Oleh :
M. Abdul Jabar
Abdullah Bawazier
Rafsyanjani Mohammad
Agustian Raka Perdana
Maulana Luqman Firdaus

FAKULTAS HUMANIORA
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR


BAB I
PENDAHULUAN

            Manusia adalah makhluk hidup yang selalu memiliki perilaku dalam hidupnya. Perilaku-perilaku yang dilakukan oleh masing-masing individu berbeda dengan individu lainnya tergantung kepada beberapa aspek yang mempengaruhi pembentukan perilaku tersebut. Dengan adanya kebutuhan untuk mengetahui lebih dalam tentang perilaku manusia tersebut, psikologi hadir sebagai perantara bagi manusia untuk mempelajari perilaku-perilaku manusia  tersebut. Psikologi sebagai disiplin ilmu juga memiliki beberapa cabang ilmu lagi, salah satunya adalah psikologi sosial. Psikologi sosial termasuk ke dalam salah satu cabang dari psikologi khusus. Psikologi sosial lebih menitikberatkan pembahasannya kepada perilaku-perilaku individu dan kaitannya dengan stimulus sosial. Psikologi sosial mempelajari bagaimana perilaku individu di dalam suatu kelompok sosial, baik dipengaruhi maupun mempengaruhi kelompok sosial individu tersebut. Jadi, dapat dikatakan pula bahwasanya psikologi sosial membahas tentang perilaku individu dalam konteks situasi sosial individu tersebut.
            Salah satu pokok bahasan di psikologi sosial adalah tentang diri (self). Pembahasan diri menjadi sangat penting karena pemahaman individu tentang diri sangat berpengaruh dengan setiap perilaku yang dilakukan individu tersebut. Pengetahuan individu tentang dirinya bervariasi pada kontinum identitas personal dan sosial (personal and social identity) individu tersebut. Dengan lain kata, pengetahuan seseorang tentang dirinya memiliki hubungan yang erat dengan bagaimana individu tersebut mendefinisikan dirinya dalam bentuk suatu identitas diri. Oleh sebab itu, pembahasan tentang identitas diri menjadi sangat urgent dalam studi psikologi sosial terutama bagi kalangan akademisi yang bergelut dibidang human dan sosial.




BAB II
PEMBAHASAN

A.                Definisi Identitas Diri
          Identitas dilihat dari segi bahasa berasal dari Bahasa Inggris yaitu “identity” yang dapat diartikan ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri. Ciri-ciri adalah suatu yang menandai benda atau orang. Sedangkan identitas diri dalam bahasa inggris adalah self-identity yang berarti kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh (Stuart dan Sundeen, 1991).
            Sedangkan Erikson (1968) menjelaskan identitas sebagai perasaan subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam berbagai tempat dan berbagai situasi sosial, seseorang masih memiliki perasaan menjadi orang yang sama. Sehingga, orang lain yang menyadari kontinuitas karakter individu tersebut dapat merespon dengan tepat. Sehingga, identitas bagi individu dan orang lain mampu memastikan perasaan subjektif tersebut (Kroger, 1997).
            Waterman (1984) juga memberikan definisi yang lain, identitas berarti memiliki gambaran diri yang jelas meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang dipilih oleh individu tersebut. Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang waktu dan telah dibuat karena tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai dinilai penting untuk memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup (LeFrancois, 1993).
            Selain itu ada juga Marcia (1993) yang mengatakan bahwa identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang berkembang maka individu semakin atergantung pada sumber-sumber eksternal untuk evaluasi diri.

Ciri-ciri dalam identitas diri bisa berupa ciri fisik dan non-fisik. Ciri fisik dapat diamati dari ciri biologis seseorang tersebut seperti orang cina bermata sipit dan orang irian berkulit hitam. Sedangkan ciri non-fisik tidak dapat dilihat hanya melalui ciri biologis, tapi dapat diamati ketika seseorang tersebut mulai berinteraksi seperti gaya bicara ataupun tingkah laku.
            Untuk memudahkan dalam mengetahui identitas diri ada sesuatu yang dikenal dengan atribut identitas. Atribut identitas adalah segala sesuatu yang disengaja maupun tidak sengaja berguna untuk mengenali jati diri atau identitas seseorang. Atribut ini bisa berupa ciri-ciri yang mencolok dari benda atau tubuh seseorang, sifat-sifat seseorang atau pola tindakan dan bahasa yang digunakan.

B.                 Konseptualisasi Identitas Diri dan Bentuk Dasar Identitas Diri
            Menurut Brewer and Gardiner (1996), ada 3 bentuk diri yang menjadi dasar bagi seseorang dalam mendefinisikan dirinya  :
1.      Individual Self
            Individual self adalah diri yang didefinisikan berdasaran trait pribadi yang membedakan dengan orang lain. Individu tersebut berusaha mendefinisikan dirinya sendiri dengan apa yang ada di dirinya sendiri yang mana hal tersebut membedakan ia dengan individu lain. Contoh : “Saya adalah pekerja keras yang pantang menyerah ketika menghadapi tantangan.”  Sifat pekerja keras dan pantang menyerah tersebutlah yang membedakan individu tersebut dengan individu lain yang tidak memiliki trait tersebut.
2.      Relations Self
            Relations Self adalah diri yang didefinisikan berdasarkan hubungan interpersonal yang dimiliki dengan orang lain. Individu tersebut berusaha mendefinisikan dirinya dengan hubungan yang ia miliki dengan seseorang terutama tokoh terkenal. Contoh : “Saya adalah teman dari aktor drama Korea.” Hubungan pertemanan dengan aktor drama Korea tersebutlah yang membedakan individu tersebut dengan individu lain yang tidak memiliki hubungan interpersonal dengan artis itu.
3.      Collective Self
            Collective Self adalah diri yang didefinisikan berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok sosial. Individu tersebut berusaha mendefinisikan dirinya dengan keikutsertaannya dalam suatu kelompok sosial.Contoh : “Saya adalah mahasiswa Oxford angkatan 2010.” Keikutsertaannya dalam kelompok mahasiswa Oxford tersebutlah yang membedakan individu tersebut dengan individu lain yang tidak ikut serta dalam kelompok sosial tersebut.
           
            Menurut  Jackson dan Smith (1999), terdapat 4 macam dalam konseptualisasi identitas sosial :
1.      Persepsi dalam konteks antar kelompok (hubungan antara in-group seseorang dengan grup perbandingan yang lain).
2.      Daya tarik in-group (afek yang ditimbulkan oleh in-group seseorang).
3.      Keyakinan yang saling terkait (norma dan nilai yang menghasilkan tigkah laku anggota kelompok ketika mereka berusaha mencapai tujuan dan berbagi keyakinan yang sama).
4.      Depersonalisasi (memandang dirinya sendiri sebagai contoh dari kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik), pada saat seseorang kehilangan identitas dirinya karena meleburkan dirinya ke dalam identitas kelompok.
            Konseptualisasi identitas diri juga didapat dari beberapa tahapan atau disebut dengan karekteristik adaptif, yaitu :
1.      Kesadaran diri subjektif (Subjective self-awareness).
            Merupakan kemampuan membedakan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Tahap ini terjadi saat kita masih kecil.
            Contoh : Ketika kita mulai bisa membedakan diri kita sebagai seorang anak kecil yang masih duduk di bangku SD dengan seorang lelaki dewasa yang sudah bekerja, atau dengan seorang mahasiswa yang pergi ke universitas untuk belajar.
2.      Kesadaran diri objektif (Objective self-awareness).
            Merupakan kemempuan menjadikan diri sendiri sebagai objek perhatian, kesadaran akan pikirannya (mengetahui dan menginngat). Tahap ini terjadi ketika kita mulai dewasa.
            Contoh : Saat kita berkata kasar pada orang lain, seringkali kita berpikir “Seharusnya saya tidak berkata seperti itu, bukankah tadi itu kasar sekali?” dan sebagainya.
3.      Kesadaran diri simbolik (Symbolic self-awareness).
            Merupakan kemampuan membentuk representasi kognitif diri yang absrak melalui bahasa yang memungkinkan manusia berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungannya.
            Contoh : Konsep diri Bagaskoro : “Saya adalah artis ganteng Indonesia” , maka konsep diri seorang artis yang dimiliki Bagaskoro itu akan membantunya bersikap sebagai seorang artis dalam pekerjaannya (menjaga image, selalu stylish, memperhatikan perkataannya di depan kamera, menjauhi dirinya dari gosip, dll).

C.                Pembentukan Identitas Diri dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
            Identitas diri tidak ada secara langsung dalam diri seseorang. Identitas diri seseorang mengalami fase pembentukan terlebih dahulu yang terangkum dalam suatu proses di dalamnya. Proses yang membentuk identitas diri seseorang juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik eksternal maupun internal dari individu tersebut. Marcia (1993) menyatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan :
            “Identity formation involves a synthesis of childhood skills, beliefs, and identification             into a more a less coherent, unique whole that povides the young adult with both a         sense of continuity with the past and a direction for the future”
            Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwasanya pembentukan identitas diri adalah suatu proses yang berupa pengkombinasian dari pengalaman, kepercayaan dan identifikasi sejak masa kanak-kanak yang pada masa dewasa memberikan perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa depan. Pembentukan identitas diri sangat bergantung dengan apa yang didapatkan dan dihadapi pada masa kanak-kanak seseorang.
            Selain berupa proses yang telah terbentuk sejak masa kanak-kanak, pembentukan identitas diri seseorang juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Fuhmann (1990) mengatakan bahwasanya ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri, antara lain :
a.       Pola Asuh
            Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak memiliki pengaruh yang sangat penting dalam kehidupan individual anak tersebut. Pola asuh orag tua dapat membentuk identitas diri anak tersebut ketika dewasa.
            Identitas diri anak yang diasuh dengan baik dan dengan kurang baik akan berbeda ketika telah meranjak dewasa.
b.      lingkungan
            Faktor homogenitas lingkungan juga turut mempengaruhi pembentukan identitas diri seseorang. Seseorang yang tinggal di lingkungan homogen akan tidak banyak menerima krisis dan mudah menerima nilai-nilai dari orang tua. Sebaliknya, orang yang tinggal di lingkungan heterogen akan banyak mengalami krisis dan perbedaan nilai yang dimiliki. Orang yang tinggal di desa yang cenderung homogen akan memiliki identitas diri yang berbeda apabila dibandingkan dengan orang yang tinggal di kota yang cenderung heterogen.
c.       Model untuk identifikasi
            Individu terutama anak dan remaja cenderung mengadakan identifikasi dengan orang-orang yang dikagumi dengan tujuan kelak akan menjadi seperti orang yang dikagumi. Dengan idola yang masing-masing berbeda membuat identitas diri seseorang dengan yang lainnya terutama anak dan remajapun berbeda pula. Individu yang mengidolai tokoh A akan memiliki identitas diri yang berbeda dengan individu yang mengidolai tokoh B.
d.      Pengalaman masa kanak-kanak
            Segala kejadian, konflik, masalah dan berbagai jenis pengalaman yang dialami oleh individu ketika kanak-kanak akan mempengaruhi pembentukan identitas diri individu tersebut ketika dewasa. Individu yang ketika masa kanak-kanaknya sering dibully akan memiliki identitas diri yang berbeda dengan anak yang tidak dibully.
e.       Identitas etnik
            Etnis yang dimiliki dan lingkungan etnis yang ditinggali memiliki pengaruh bagi individu. Etnis dan lingkungan juga turut mempengaruhi pembentukan individu diri seseorang.
             Orang yang memiliki etnis Jawa dan tinggal dalam lingkungan Jawa akan memiliki identitas diri yang berbeda dengan orang yang beretniskan Sunda dan tinggal dalam kehidupan Sunda.
f.       Perkembangan kognisi
            Setiap individu memiliki kemampuan berpikir terhadap sesuatu yang berbeda-beda. Dapat dikatakan pula kemampuan kognisi tiap orangpu berbeda-beda pula. Kemampuan kognisi seseorang ternyata juga mempengaruhi pembentukan identitas diri orang tersebut. Orang yang memiliki kognisi yang berkembang akan memiliki identitas diri yang berbeda dengan orang yang memiliki kognisi yang kurang berkembang.

g.      Sifat Individu
            Setiap individu memiliki sifat-sifat yang hanya dimiliki sendiri dan karena itu pula sifat tiap-tiap orang pun berbeda pula. Sifat yang dimiliki individu tutut mempengaruhi pembentukan identitas diri seseorang. Orang yang memiliki sifat pemarah akan memiliki identitas diri yang berbeda dengan orang yang tidak pemarah.

D.                Status Identitas Diri
            Identitas diri yang pada umumnya memiliki konsep bahwa umumnya menunjuk kepada suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi. Berdasarkan ide yang diungkapkan oleh Erikson, Marcia mengungkapkan bahwa konsep identitas diri yang dihasilkan dari status identitas diri itu digunakan untuk menerangkan atau mendeskripsikan posisi seseorang dalam masa perkembangan identitasnya. Pada sudut pandang Marcia bahwasannya status identitas ini menghasilkan dua dimensi yang terpenting dari pada yang lain yakni : krisis atau eksplorasi dan komitmen. Dalam pencapaian untuk mendapatkan status identitas diri, seorang remaja akan mengalami tahap pencarian status identitas diri. Adapun pandangan ilmuwan mengenai hal ini, diantaranya pandangan Erikson dan Marcia.
Pertama, tahap-tahap pencarian status identitas diri Erikson. Pada tahap sosial Erikson ia mencetuskan istilah yang disebut krisis identitas. Istilah ini terdapat pada delapan tahapan perkembangan yang berurutan. Pada pencapaian status identitas diri, biasanya terjadi pada tahap kelima, yaitu pada tahap identity vs identity confusion Tahap ini terjadi saat individu berusia 10 sampai 20 tahun dan individu mulai mencari status identitas dirinya. Menurut Erikson “remaja harus memutuskan siapakah mereka itu, apa keunikannya, dan apa yang menjadi tujuan hidupnya”. Ketika seseorang mendekati masa remaja dan pubertas, ada pilihan-pilihan dalam hidupnya seperti memilih pekerjaan ataupun dalam hal memilih menyukai lawan jenis.
Adapun pandangan dari Marcia akan status identitas diri itu dipengaruhi oleh teori Erikson Marcia menggunakan krisis dan komitmen untuk mengklasifikasikan seseorang menjadi empat tahap status identitas, yaitu (a) identity diffusion (rendah dalam komitmen dan eksplorasi), (b) identity foreclosure (tinggi komitmen dan rendah eksplorasi), (c) identity moratorium (rendah komitmen dan tinggi eksplorasi), dan (d) identity achievement (tinggi dalam komitmen dan eksplorasi).
1.      Identity Diffusion
Orang tipe ini, yaitu orang yang mengalami kebingungan dalam mencapai identitas. Ia tidak memiliki krisis dan juga tidak memiliki tekad untuk menyelesaikannya.
Ciri seseorang yang memiliki identitas ini adalah : tidak mempunyai pilihan-pilihan yang dipertimbangkan secara serius, tidak mempunyai komitmen, tidak yakin pada dirinya sendiri, cenderung menyendiri, orang tua tidak mendiskusikan mengenai masa depan dengannya, mereka sering bicara semua terserah mereka, beberapa dari mereka tidak mempunyai tujuan hidup, cenderung tidak bahagia, sering menyendiri karena kurangnya pergaulan. (Marcia, tanpa tahun)
2.      Identity Foreclosure
Identitas ini ditandai dengan tidak adanya suatu krisis, tetapi ia memiliki komitmen atau tekad. Sehingga individu seringkali berangan-angan tentang apa yang ingin dicapai dalam hidupnya, tetapi seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya. Akibatnya, ketika individu dihadapkan pada masalah realitas, tidak mampu menghadapi dengan baik. Bahkan kadang-kadang melakukan mekanisme pertahanan diri seperti ; rasionalisasi, regresi pembentukan reaksi dan sebagainya.
Ciri seseorang yang memiliki identitas ini : komitmennya dibuat setelah menerima saran dari orang lain, keputusan dibuat tidak sebagai hasil dari krisis, yang akan melibatkan pertanyaan dan eksplorasi pilihan-pilihan yang mungkin, berpikiran kaku, bahagia, yakin pada diri sendiri, bahkan mungkin puas dengan diri sendiri, menjadi dogmatis ketika opininya dipertanyakan, hubungan keluarga dekat, patuh, cenderung mengikuti pemimpin yang kuat, tidak mudah menerima perselisihan pendapat. (Marcia, tanpa tahun)
3.      Identity Moratorium 
Identitas ini ditandai dengan adanya krisis, tetapi ia tidak memiliki kemauan kuat (tekad) untuk menyelesaikan masalah krisis tersebut. Ada dua kemungkinan tipe individu ini, yaitu : a. Individu yang menyadari adanya suatu krisis yang harus diselesaikan, tetapi ia tidak mau menyelesaikannya, menunjukkan bahwa individu ini cenderung dikuasai oleh prinsip kesenangan dan egoisme pribadi. Apa yang dilakukan seringkali menyimpang dan tidak pernah sesuai dengan masalahnya. Akibatnya, ia mengalami stagnasi perkembangan, artinya seharusnya ia telah mencapai tahap perkembangan yang lebih maju, namun karena ia terus-menerus tidak mau menghadapi atau menyelesaikan masalahnya, maka ia hanya dalam tahap itu. b.             Orang yang memang tidak menyadari tugasnya, namun juga tidak memiliki komitmen. Ada kemungkinan, faktor sosial, terutama dari orang tua kurang memberikan rangsangan yang mengarahkan individu untuk menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya.
            Ciri seseorang yang memiliki identitas moratorium adalah : dalam keadaan krisis, ragu-ragu dalam membuat keputusan, banyak bicara, percaya diri, tetapi juga mudah cemas dan takut, pada akhirnya mungkin akan keluar dari krisis dengan kemampuannya membuat komitmen. (Marcia, tanpa tahun)
4.      Identity Achievement 
Seorang individu dikatakan telah memiliki identitas, jika dirinya telah mengalami krisis dan ia dengan penuh tekad mampu menghadapinya dengan baik. Justru dengan adanya krisis akan mendorong dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikannya dengan baik. Walaupun kenyataannya ia harus mengalami kegagalan, tetapi bukanlah akhir dari upaya untuk mewujudkan potensi dirinya.          
Ciri orang yang memiliki identitas ini : mampu membuat pilihan dan komitmen yang kuat, pilihan dibuat sebagai hasil proses periode krisis dan pencurahan banyak pikiran serta perjuangan emosi, orang tua mendorongnya untuk membuat keputusannya sendiri, orang tua mendengarkan ide-idenya dan memberi opini tanpa tekanan, flexible strength, banyak berpikir, tetapi tidak terlalu mawas diri, mempunyai rasa humor, dapat bertahan dengan baik dibawah tekanan, mampu menjalin hubungan yang intim, dapat bertahan meskipun membuka diri pada ide baru, lebih matang dan lebih kompeten dalam berhubungan daripada mereka dari tiga kategori status identitas lainnya. (Marcia, tanpa tahun)

Pengambilan keputusan biasanya terjadi pada tahap identity moratorium di mana seorang remaja harus menghadapi krisis dan membuat komitmen. Ketika seorang remaja membuat komitmen ia harus membuat sebuah keputusan. Mann dan rekan-rekannya (dikutip dalam Rice, 2002) mengemukakan cara pengambilan keputusan yang efektif. Mereka membuat sembilan daftar elemen dalam pengambilan keputusan yang disebut dengan “Sembilan Cs dalam Membuat Keputusan” yaitu (a) pilihan, (b) pemahaman, (c) kreativitas, (d) kompromi, (e) konsekuensi, (f) kebenaran, (g) kredibilitas, (h) konsistensi, Dan (i) komitmen
            Maka, Marcia mengatakan bahwa krisis sebagai suatu periode perkembangan identitas di mana individu berusaha melakukan eksplorasi terhadap berbagai alternatif yang bermakna, dan komitmen diartikan sebagai investasi pribadi mengenai hal-hal yang hendak individu lakukan.
            Modal perkembangan status identitas itu sekurang-kurangnya ada tiga aspek perkembangan pada remaja muda yang penting dalam pembentukan identitas (Marcia) remaja muda harus membangun kepercayaan pada dukungan orang tua, mengembangkan ketekunan (a sense of industry), dan memperoleh suatu perspektif refleksi diri atas masa depan mereka.
            Maka, Seorang remaja pada masa perkembangannya pasti melewati tahapan pencarian status identitas diri seperti yang dikemukakan oleh Marcia. Setelah melewati keempat tahapan status identitas tersebut, seorang remaja dapat mengetahui cara mengambil keputusan untuk mencapai komitmen, sehingga seorang remaja dapat dikatakan telah mencapai status identitasnya. Pencarian status identitas diri tidak hanya terjadi pada masa remaja saja, melainkan terus terjadi pada saat individu telah dewasa.



BAB III
PENUTUP

Identitas diri merupakan suatu komponen penting bagi seseorang untuk menunjukkan identitas personal individu kepada orang lain, semakin ia berkembang dalam memahami identitas dirinya, maka semakin faham pula ia dalam memahami bagaimana kekuatan ataupun kekurangan disaat dirinya menjalani kehidupannya. Pengambilan pandangan terhadap identitas seseorang dapat diambil dari berbagai macam segi, baik dari segi fisik dan non fisik.
Dapatlah kita ambil dari sini bahwa kehadiran identitas diri tidak ada secara langsung dalam diri seseorang. Identitas diri seseorang akan mengalami fase pembentukan terlebih dahulu yang terangkum dalam suatu proses di dalamnya. Maka diperlukanlah pembentukan identitas diri yang merupakan suatu proses yang berupa pengkombinasian dari pengalaman, kepercayaan dan identifikasi sejak masa kanak-kanak yang pada masa dewasa memberikan perasaan keterkaitan dengan masa lalu maupun arah bagi masa depan. adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas diri, antara lain : Pola Asuh, Lingkungan, Model untuk identifikasi, Pengalaman masa kanak-kanak, Identitas etnik, Perkembangan kognisi dan sifat individu.
Status identitas merupakan paradigma perluasan dan pengembangan dari teori psikososial Erik H. Erikson oleh James Marcia. Maka dari itu status identitas diri agak berbeda dengan self identity. Bagi setiap individu diperlukanlah berbagi macam tahap dalam pencapaian status identitas dirinya. Tetapi menurut James Marcia itu ada 4 ialah: identity diffusion, identity foreclosure, identity moratorium, dan identity achievement. Setelah melewati keempat tahapan status identitas tersebut, seorang remaja dapat mengetahui cara mengambil keputusan untuk mencapai komitmen, sehingga seorang remaja dapat dikatakan telah mencapai status identitasnya. Pencarian status identitas diri tidak hanya terjadi pada masa remaja saja, melainkan terus terjadi pada saat individu telah dewasa.


Referensi
Abdul Rahman, Agus. Psikologi Sosial : Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan Empirik. Cetakan ke-1. Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Sarwono, Sarlito W. Psikologi Sosial.  Jakarta: Salemba Humanika, 2014
http://repository.usu.ac.id diakses pada tanggal 26 Maret 2015 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar